Blog

Di dalam blog ini tersedia pengumuman dan informasi terbaru.

JKI Admin

JKI Admin

Jumat, 03 Januari 2020 11:53

Gottesdienst / Ibadah 05.01.2020

Bahasa Indonesia

Datum: Sonntag, der 05. Januar 2020
Uhrzeit: 15 Uhr
Ort: Alte Nikolaikirche, Frankfurt am Main / Römerberg

Predigttext aus

Jesaja 61:1-3, 10-11

Der Geist Gottes des HERRN ist auf mir, weil der HERR mich gesalbt hat. Er hat mich gesandt, den Elenden gute Botschaft zu bringen, die zerbrochenen Herzen zu verbinden, zu verkündigen den Gefangenen die Freiheit, den Gebundenen, dass sie frei und ledig sein sollen; 2 zu verkündigen ein gnädiges Jahr des HERRN und einen Tag der Rache unsres Gottes, zu trösten alle Trauernden, 3 zu schaffen den Trauernden zu Zion, dass ihnen Schmuck statt Asche, Freudenöl statt Trauer, schöne Kleider statt eines betrübten Geistes gegeben werden, dass sie genannt werden »Bäume der Gerechtigkeit«, »Pflanzung des HERRN«, ihm zum Preise.

10 Ich freue mich im HERRN, und meine Seele ist fröhlich in meinem Gott; denn er hat mir die Kleider des Heils angezogen und mich mit dem Mantel der Gerechtigkeit gekleidet, wie einen Bräutigam mit priesterlichem Kopfschmuck geziert und wie eine Braut, die in ihrem Geschmeide prangt. 11 Denn gleichwie Gewächs aus der Erde wächst und Same im Garten aufgeht, so lässt Gott der HERR Gerechtigkeit aufgehen und Ruhm vor allen Völkern.

(Lutherbibel 2017)

Predigt: Pfarrer Dr. Johny Tonipara (Zentrum Oekumene der EKHN und EKKW, Entwicklung und Partnerschaft Asien)

Ehrenamtlicher Dienst zum 2. So. nach Christfest

Liturgie: Frau Inke Rondonuwu
Musik: Frau Paula Simanjuntak
Bibellesung: Frau Marina Subianto
Kindergottesdienst: Frau Yesica Balondo
Abkündigung: Frau Vanessa Görner
Verpflegung: Sukacita
Schlüsseldienst: Frau Vanessa Görner

Liturgie
Unsere letzten Predigten

Unser Gemeindetreff findet nach unserem Sonntagsgottesdienst in der Saalgasse 15 (EVA) statt.

----------------

Tanggal: Minggu, 20 Oktober 2019
Waktu: Pukul 15:00
Tempat: Alte Nikolaikirche, Frankfurt am Main / Römerberg

Teks Khotbah dari

Yesaya 61:1-3, 10-11

Roh Tuhan ALLAH ada padaku, oleh karena Tuhan telah mengurapi aku; Ia telah mengutus aku untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang sengsara, dan merawat orang-orang yang remuk hati, untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan kepada orang-orang yang terkurung kelepasan dari penjara, 2 untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan dan hari pembalasan Allah kita, untuk menghibur semua orang berkabung, 3 untuk mengaruniakan kepada mereka perhiasan kepala ganti abu, minyak untuk pesta ganti kain kabung, nyanyian puji-pujian ganti semangat yang pudar, supaya orang menyebutkan mereka “pohon tarbantin kebenaran”, “tanaman Tuhan” untuk memperlihatkan keagungan-Nya.

10 Aku bersukaria di dalam Tuhan, jiwaku bersorak-sorai di dalam Allahku, sebab Ia mengenakan pakaian keselamatan kepadaku dan menyelubungi aku dengan jubah kebenaran, seperti pengantin laki-laki yang mengenakan perhiasan kepala dan seperti pengantin perempuan yang memakai perhiasannya. 11 Sebab seperti bumi memancarkan tumbuh-tumbuhan, dan seperti kebun menumbuhkan benih yang ditaburkan, demikianlah Tuhan ALLAH akan menumbuhkan kebenaran dan puji-pujian di depan semua bangsa-bangsa.

(Alkitab Terjemahan Baru 1974)

Khotbah: Pfarrer Dr. Johny Tonipara (Zentrum Oekumene der EKHN und EKKW, Entwicklung und Partnerschaft Asien)

Pemberitahuan Pelayanan Hari Minggu ke-dua setelah Natal

Liturgi: Sdri Inke Rondonuwu
Musik: Ibu Paula Simanjuntak
Pembacaan Alkitab: Ibu Marina Subianto
Sekolah Minggu: Ibu Yesica Balondo
Berita Jemaat: Sdri Vanessa Görner
Konsumsi: Sukacita
Kunci: Sdri Vanessa Görner

Liturgi
Khotbah yang terakhir

Pertemuan jemaat akan diadakan setelah Ibadah Minggu di Gedung EVA (Saalgasse 15).

Bahasa Indonesia

Datum: Mittwoch, der 01. Januar 2020

Uhrzeit: 17 Uhr

Ort: Alte Nikolaikirche, Frankfurt am Main / Römerberg

Predigttext aus

Markus 9, 24

Sogleich schrie der Vater des Kindes: Ich glaube; hilf meinem Unglauben!

(Lutherbibel 2017)

Predigt und Liturgie: Pfarrerin Junita Rondonuwu-Lasut (Evangelische Indonesiche Kristusgemeinde Rhein-Main) und Pfarrerin Andrea Braunberger-Myers (Ev. luth. St. Paulsgemeinde)

Ehrenamtlicher Dienst zum Neujahrstag

Musik: Herr Leandro Christian
Bibellesung: Gemeinsam
Kindergottesdienst: -
Abkündigung: Herr Jens Balondo
Verpflegung: -
Schlüsseldienst: Pfarrerin Junita Rondonuwu-Lasut

Liturgie

Unsere letzten Predigten

----------------

Tanggal: Rabbu, 01 Januari 2020

Waktu: Pukul 17:00

Tempat: Alte Nikolaikirche, Frankfurt am Main / Römerberg

Teks Khotbah dari

Markus 9, 24

Segera ayah anak itu berteriak: "Aku percaya. Tolonglah aku yang tidak percaya ini!"

(Alkitab Terjemahan Baru 1974)

Khotbah dan Liturgi: Pendeta Junita Rondonuwu-Lasut (Jemaat Kristus Indonesia Rhein-Main) dan Pendeta Andrea Braunberger-Myers (Ev. luth. St. Paulsgemeinde)

Pemberitahuan Pelayanan Hari Tahun Baru

Musik: Sdr Leandro Christian
Pembacaan Alkitab: Bersama
Pel. Sekolah Minggu: -
Berita Jemaat: Bpk Jens Balondo
Konsumsi: -
Kunci: Pendeta Junita Rondonuwu-Lasut

Liturgi

Khotbah yang terakhir

Bahasa Indonesia

Datum: Dienstag, der 31. Dezember 2019

Uhrzeit: 20 Uhr

Ort: Alte Nikolaikirche, Frankfurt am Main / Römerberg

Predigttext aus

Hebräer 13: 8, 9b

Jesus Christus gestern und heute und derselbe auch in Ewigkeit. 9 Lasst euch nicht durch mancherlei und fremde Lehren umtreiben, denn es ist ein köstlich Ding, dass das Herz fest werde, welches geschieht durch Gnade, nicht durch Speisegebote, von denen keinen Nutzen haben, die danach leben.

(Lutherbibel 2017)

Predigt und Liturgie: Pfarrerin Junita Rondonuwu-Lasut (Evangelische Indonesiche Kristusgemeinde Rhein-Main)

Ehrenamtlicher Dienst zum Jahresabschluss

Musik: Herr Leandro Christian
Bibellesung: Frau Meilani Bangun
Abendmahl: Kirchenvorstand
Kindergottesdienst: -
Abkündigung: Frau Riany Lengkong
Verpflegung: Team Verpflegung
Schlüsseldienst: Herr Frank Madrikan

Liturgie / Zusatz
Unsere letzten Predigten

Unser Gemeindetreff nach unserem Gottesdienst findet in Saalgasse 15 (EVA) statt.

----------------

Tanggal: Selasa, 31 Desember 2019

Waktu: Pukul 20:00

Tempat: Alte Nikolaikirche, Frankfurt am Main / Römerberg

Teks Khotbah dari

Ibrani 13: 8, 9b

Bersorak-sorailah dan bersukarialah, hai puteri Sion, sebab sesungguhnya Aku datang dan diam di tengah-tengahmu, demikianlah firman Tuhan; 11 dan banyak bangsa akan menggabungkan diri kepada Tuhan pada waktu itu dan akan menjadi umat-Ku dan Aku akan diam di tengah-tengahmu.” Maka engkau akan mengetahui, bahwa Tuhan semesta alam yang mengutus aku kepadamu. 12 Dan Tuhan akan mengambil Yehuda sebagai milik-Nya di tanah yang kudus, dan Ia akan memilih Yerusalem pula. 13 Berdiam dirilah, hai segala makhluk, di hadapan Tuhan, sebab Ia telah bangkit dari tempat kediaman-Nya yang kudus.

(Alkitab Terjemahan Baru 1974)

Khotbah dan Liturgi: Pendeta Junita Rondonuwu-Lasut (Jemaat Kristus Indonesia Rhein-Main)

Pemberitahuan Pelayanan Hari Malam Natal

Musik: Sdr Leandro Christian
Pembacaan Alkitab: Ibu Meilani Bangun
Perjamuan Kudus: Majelis Jemaat
Pel. Sekolah Minggu: -
Berita Jemaat: Sdri Riany Lengkong
Konsumsi: Team Konsumsi
Kunci: Bpk Frank Madrikan

Liturgi / Bahan tambahan

Khotbah yang terakhir

Pertemuan jemaat setelah Ibadah akan diadakan di Gedung EVA (Saalgasse 15).
Sabtu, 28 Desember 2019 07:32

Gottesdienst / Ibadah 29.12.2019

Bahasa Indonesia

Datum: Sonntag, der 29. Dezember 2019
Uhrzeit: 15 Uhr
Ort: Alte Nikolaikirche, Frankfurt am Main / Römerberg

Predigttext aus

1. Johannes 1, 1-4

Was von Anfang an war, was wir gehört haben, was wir gesehen haben mit unsern Augen, was wir betrachtet haben und unsre Hände betastet haben, vom Wort des Lebens – 2 und das Leben ist erschienen, und wir haben gesehen und bezeugen und verkündigen euch das Leben, das ewig ist, das beim Vater war und uns erschienen ist –, 3 was wir gesehen und gehört haben, das verkündigen wir auch euch, damit auch ihr mit uns Gemeinschaft habt; und unsere Gemeinschaft ist mit dem Vater und mit seinem Sohn Jesus Christus. 4 Und dies schreiben wir, auf dass unsere Freude vollkommen sei.

(Lutherbibel 2017)

Predigt: Pfarrer Welman Boba (Kirchenbezirk an Alsenz und Lauter, Ev. Kirche der Pfalz)

Ehrenamtlicher Dienst zum 1. Sonntag nach dem Christfest

Liturgie: Frau Tinur Siahaan
Musik: Frau Sonya Mboeik
Bibellesung: Frau Rustina Sihotang
Kindergottesdienst: Frau Inke Rondonuwu
Abkündigung: Frau Roselien Rehfeldt
Verpflegung: Puji Syukur
Schlüsseldienst: Frau Roselien Rehfeldt

Liturgie
Unsere letzten Predigten

Unser Gemeindetreff nach unserem Sonntagsgottesdienst findet in Saalgasse 15 (EVA) statt.

----------------

Tanggal: Minngu, 29 Desember 2019
Waktu: Pukul 15:00
Tempat: Alte Nikolaikirche, Frankfurt am Main / Römerberg

Teks Khotbah dari

1. Yohanes 1, 1-4

Apa yang telah ada sejak semula, yang telah kami dengar, yang telah kami lihat dengan mata kami, yang telah kami saksikan dan yang telah kami raba dengan tangan kami tentang Firman hidup -- itulah yang kami tuliskan kepada kamu. 2 Hidup itu telah dinyatakan, dan kami telah melihatnya dan sekarang kami bersaksi dan memberitakan kepada kamu tentang hidup kekal, yang ada bersama-sama dengan Bapa dan yang telah dinyatakan kepada kami. 3 Apa yang telah kami lihat dan yang telah kami dengar itu, kami beritakan kepada kamu juga, supaya kamu pun beroleh persekutuan dengan kami. Dan persekutuan kami adalah persekutuan dengan Bapa dan dengan Anak-Nya, Yesus Kristus. 4 Dan semuanya ini kami tuliskan kepada kamu, supaya sukacita kami menjadi sempurna.

(Alkitab Terjemahan Baru 1974)

Khotbah: Pendeta Welman Boba (Kirchenbezirk an Alsenz und Lauter, Ev. Kirche der Pfalz)

Pemberitahuan Pelayanan Hari ketigabelas setelah Trinitatis

Liturgi: Ibu Tinur Siahaan
Musik: Ibu Sonya Mboeik
Pembacaan Alkitab: Ibu Rustina Sihotang
Sekolah Minggu: Sdri Riany Lengkong dan Sdri Inke Rondonuwu
Berita Jemaat: Ibu Roselien Rehfeldt
Konsumsi: Puji Syukur
Kunci: Ibu Roselien Rehfeldt

Liturgi
Khotbah yang terakhir

Pertemuan jemaat setelah Ibadah Minggu depan akan diadakan di Gedung EVA (Saalgasse 15).

So kurz vor Heiligabend erreichte uns die traurige Nachricht, dass Pfarrerin Dr. h. c. Marie-Claire Barth-Frommel verstorben ist.

Marie-Claire Barth-Frommel, 92, wurde in Genf geboren und studierte an den Universitäten in Genf und Zürich Theologie. Für die Basler Mission reiste sie 1956 im Alter von 29 Jahren erstmals in die indonesische Hauptstadt Jakarta. In dem mehrheitlich muslimischen Land war sie als Studiensekretärin der indonesischen christlichen Studentenbewegung tätig und später auch als Dozentin für Altes Testament und Förderin von Frauen an der kirchlichen Basis. In Indonesien lernte sie ihren späteren Ehemann Christoph Barth kennen, Sohn des Schweizer Theologen Karl Barth und selber Theologe. Gemeinsam haben sie vier Kinder. Mitte der Sechzigerjahre kehrte die Familie zurück nach Europa. Es folgten zwölf Jahre in Mainz, ab 1979 in Basel. Nach dem Tod ihres Ehemannes 1986 reiste sie jedes Jahr für mehrere Monate nach Indonesien, um als Theologiedozentin und Beraterin der kirchlichen Frauenarbeit zu wirken. Für ihr Gesamtwerk erhielt Barth-Frommel 2011 die Ehrendoktorwürde der Theologischen Fakultät der Universität Basel. Bis zu ihrem Tod sie als Exegetin und Übersetzerin in Basel.

Dr. Marie-Claire Barth-Frommel, 2015 in Indonesien
Dr. h. c. Marie-Claire Barth-Frommel, 2015 in Indonesien

Selamat Jalan Pdt. Marie-Claire Barth-Frommel




Folgend ein Artikel vom 25.11.2011,
Anna Wegelin (Onlinereports)

Sie ist Pionier-Feministin, Theologin und sie setzt sich seit Jahrzehnten für die Entwicklung in Indonesien ein: Am heutigen Dies Academicus der Universität Basel erhielt die 84-jährige leidenschaftliche Bibelarbeiterin Marie-Claire Barth die Ehrendoktorwürde. Ein Besuch bei einer Frau mit einer ungewöhnlichen Biografie.

Marie-Claire Barth-Frommel ist eine kleine Frau mit hübschem Gesicht und wachen Augen. Sie lebt mit ihrem jüngsten Sohn in einer hellen Dachwohnung mit Weitsicht im Basler Bachlettenquartier. Auf der einen Seite sieht man bis zum Gempen, auf der anderen ist der Turm der Pauluskirche zu erspähen.

Die 84-jährige Theologin hat um halb sechs Tagwache: Dann fährt jeweils der knatternde Lastwagen vor, der die Frischwaren zum Grossverteiler im Erdgeschoss des Hauses bringt. "Eine Versicherung gegen die Faulheit", so die Schwiegertochter des berühmten Basler Systematikers Karl Barth (1886-1968).

In der Stube, bestückt mit antiken Möbeln aus dem Familienbesitz, tickt die Wanduhr. An der Wand hängt eine Ikone und schräg gegenüber ein grosses Porträt im Biedermeierstil mit ihren Grosseltern. Daneben steht auf dem Fernsehapparat ein kunstvoll gefertigtes, bauchiges Saiteninstrument aus Holz. "Das Geschenk eines indonesischen Freundes", sagt Barth, die während des rund zweistündigen Gesprächs Wollsocken für ihre Enkelkinder strickt: Zehn sind es an der Zahl, vier eigene Kinder hat sie und zwei erwachsene Adoptivsöhne, der eine Schweizer und der andere Indonesier – "sie haben mich zu ihrer Ersatzmutter gemacht", so die Pfarrerin lächelnd.

Vier Stunden Indonesisch am Tag

"Ich bin sehr erstaunt", meint die ehemalige Basler Missionarin zur Ehrenpromotion der Theologischen Fakultät an der Universität Basel (Laudatio siehe Box unten): "Denn das meiste, was ich je geschrieben habe, ist ja auf Indonesisch!" Ihr mittlerweile 55-jähriges Engagement für die evangelische Partnerkirche von mission 21 im mehrheitlich muslimischen Indonesien – als Studiensekretärin, Bibelarbeiterin, Dozentin für Altes Testament und Förderin von Frauen an der kirchlichen Basis – "all dies wäre nie entstanden ohne meine vielen indonesischen Gesprächspartner", sagt die Gekürte.

Jeden Tag denkt sie sich in den fernen Inselstaat, den sie in den Jahren nach der Unabhängigkeit von Holland und auch während der Diktatur von General Suharto kennen lernte. "Ich versuche, jeden Morgen drei bis vier Stunden Schreibtischarbeit zu verrichten", erzählt sie und zeigt ihre jüngste Buchveröffentlichung: Die Lebensgeschichten zweier Frauen der indonesischen Kirche – in Indonesisch.

Diese beiden Biografien sollen andere Frauen ermutigen, sich in der Gesellschaft einzubringen, erklärt Barth: "Es hat auch in Indonesien immer noch viel zu wenig weibliche Vorbilder." Auch sie selber hat ihren beruflichen Weg zunächst alleine beschreiten müssen. Einen mutigen Befreiungsschlag brauchte es dazu, der sie weit weg geführt hat.

Ausgesprochen lustvolle Angelegenheit

Marie-Claire, geborene Frommel, wuchs mit ihren Eltern und ihren zwei jüngeren Geschwistern in Genf und Zürich auf. Daheim wurde französisch und schweizerdeutsch gesprochen. Ihre Grossmutter väterlicherseits sei "eine wunderbare Frau" gewesen und habe ihr "unendlich viele Geschichten erzählt, biblische und erfundene", berichtet sie: "Wahrscheinlich verdanke ich ihr meine ungebrochen starke Leidenschaft für die Bibel.

"Es mag erstaunen: Aber das "Buch der Bücher" ist für sie bis heute eine ausgesprochen lustvolle Angelegenheit geblieben. Ob im stillen Kämmerlein oder in Gemeinschaft mit anderen: Abenteuerliche Geschichten lesen, unterschiedliche Lesearten entdecken und dann auswählen, was im Kontext und aus dem jeweiligen Moment heraus gerade richtig und wichtig ist – diese offene Form der von Suzanne de Dietrich und Gerhard von Rad inspirierten Bibelarbeit ist für sie geradezu ein Lebenselexir, "stimulierend" und unendlich "kreativ".

Zwischen Vater und Onkel

Als sie sich für das Theologiestudium entschieden hatte, musste sie gegen zwei starke Männer standhalten. Ihr Vater, Mediziner und Forscher, sei sehr kritisch gegenüber der Kirche gewesen und habe einzig die Evangelien gelesen, so Barth: "Was die Kirche behauptete, erschien ihm blasphemisch." Sein Bruder dagegen sei das pure Gegenteil gewesen, "unerträglich fromm bis über beide Ohren".

Um sich dem Einfluss dieser beiden Gegenpole zu entziehen, fasste sie einen Auslandaufenthalt ins Auge. Mit Empfehlung ihres Vorgesetzten, des Missionstheologen Hendrik Kraemer am Ökumenischen Institut in Bossey bei Genf, wo sie für den Weltkirchenrat dolmetschte, wurde sie schliesslich nach Indonesien ausgesandt. Marie-Claire Barth: "Mein Chef sagte, die Basler Mission ist eine ökumenische Mission, da findest du deinen Platz."

Das Ja-Wort in Jakarta

Im Mai 1956, mit 29 Jahren, reiste Barth zum ersten Mal in die indonesische Hauptstadt Jakarta, von wo aus sie bis 1961 als Studiensekretärin der nationalen christlichen Studentenvereinigung tätig war. Beim Abschied in Basel habe ihr der Inspektor der Basler Mission, Hermann Witschi, erstens eine Tafel Schoggi geschenkt und zweitens gesagt, er hoffe, sie werde sich gut mit dem Christoph Barth verstehen, der Dozent für Altes Testament in Jakarta war.

"Natürlich wusste ich, dass Christoph mein Vorgesetzter werden würde", erinnert sie sich: "Aber es war mir auch klar, dass Witschi damit auch etwas anderes meinte." Ihre Kollegen in Indonesien hätten ihre Heirat im Voraus geplant, erzählt sie: "So wurde ich die letzte Braut, die die Basler Mission aussandte." An Weihnachten 1957 gaben sich Marie-Claire Frommel und Christoph Barth in Jakarta das Jawort: "Und es war richtig so."

Aufbruchstimmung im Studentenmilieu

Intensiv wurden diese ersten neun Jahre in Indonesien (1956-1965) in zweierlei Hinsicht: Erstens erlebte sie mit den jungen Studierenden die Aufbruchstimmung im Land hautnah, aber auch die Enttäuschungen, wenn die Mächtigen in Kirche und Staat den Tarif durchgaben. "Wir waren sehr politisch und ökumenisch – und unglaublich naiv", meint sie rückblickend. Zweitens musste sie als dreifache Mutter Beruf und Familie unter einen Hut bringen.

1959 kam ihr ältester Sohn Daniel zur Welt; er praktiziert heute als Kinderpsychiater und Psychoanalytiker in Basel. Danach folgten Nicolas und Catherine Schlag auf Schlag. Aber eine Babypause einlegen – das kam für sie nicht in Frage. Denn sie wollte ihren Lehrauftrag am Theologischen Seminar in Jakarta keinesfalls aufgeben. Daniel sei gerade mal sechs Tage alt gewesen, erzählt sie, als sie ihn an eine Sitzung mitnahm. "Nur durften meine Kollegen nicht rauchen", meint sie schmunzelnd. Daheim putzte und kochte eine Haushaltshilfe, und die 15-jährige Pflegetochter hütete ihre kleinen Geschwister auf Zeit: In Indonesien, wo Gemeinschaft und Familie einen hohen Stellenwert hätten, sei dies selbstverständlich, so Barth.

Zäsuren und Neuorientierung

1988 reiste Marie-Claire Barth abermals von West nach Ost. In den Jahren dazwischen, in Basel und in Rheinland-Pfalz, hatte es schwierige und traurige Zeiten gegeben. Als die junge Familie 1967–1979 in Mainz lebte, sei ihr Mann isoliert gewesen, weil er weder ein Anhänger der damals populären "Gott ist tot"-Theologie noch Mitglied der CDU war, so die Pfarrerin.

Noch heute schmerzt es sie, dass seine Kollegen überhaupt kein Interesse für Indonesien bzw. die indonesische Theologie hatten, die sie als ein Produkt von "Wilden" abgetan hätten. Zurück in Basel, wo sie 1980–1983 als "Heimatreferentin" in der Leitung der Basler Mission beharrlich für die Anliegen von Frauen einstand und anschliessend als Gemeindepfarrerin der reformierten Stephanusgemeinde (St. Leonhard) wirkte, hatte zuerst ihr jüngster Sohn Tom einen schweren Unfall. Als 1986 ihr Mann an Krebs starb, musste sie sich ihr Leben von Grund auf neu zurechtlegen: "Die Kinder brauchten mich und ich war froh, mit Arbeit ausgelastet zu sein", sagt sie.

Über einen Einsatz als Dolmetscherin für einen indonesischen Delegierten – er war in die Schweiz gekommen, um mit der Basler Mission neue Partnerschaftsverträge auszuhandeln – erhielt sie das Angebot, abermals in ihre zweite Heimat zu reisen. 20 solcher Arbeitsaufenthalte an je drei bis vier Monaten, bei denen sie als Theologiedozentin und Beraterin der kirchlichen Frauenarbeit wirkte, sind es bis 2009 geworden. Dies sei wohl ihre letzte Reise in ihre zweite Heimat gewesen, meint Barth. Achtzig Jahre sei eine gute Zeit um aufzuhören, und sie wisse nicht, ob ihr Körper dies nochmals mitmache.

Grand Old Lady der feministischen Theologie

"Ich war privilegiert", blickt sie auf die lange Zeit in der Mission zurück. Sie habe sich weitgehend in akademischen Kreisen bewegt und da teile man bei aller Verschiedenheit auch viele Werte. Was hat ihr Indonesien gegeben? "Wenn man sehr intensiv in einer Minderheit arbeitet und dazu gehört, gehört man dazu", antwortet sie lapidar. Wärmer sei es in Indonesien, temperaturmässig und zwischenmenschlich, fügt sie an: "In der Schweiz ist man nicht derart aufeinander angewiesen, wie es dort notwendig ist."

Sie ihrerseits ist vielen zur "Mutter" geworden – nicht im sentimentalen Sinn, erklärt sie, sondern als "erwachsene Frau mit Verantwortung für die nächste Generation". Barth gilt deshalb in der ost-indonesischen Kirche als Grand Old Lady der feministischen Theologie, die jüngere Menschen, insbesondere Frauen fördert und ermutigt, ihren eigenen Weg zu beschreiten. Ihr jahrzehntelanges Wirken hat wesentlich dazu beigetragen, dass mehr Frauen Theologie studieren und es später als Pfarrerin oder Kirchenleiterin zu etwas bringen – "auch wenn die Männer immer noch entscheiden", so die Ehrendoktorin.

Ihre eigene Theologie – ökumenisch, offen-liberal und in der Bibel verwurzelt – ist die logische Konsequenz dieses jahrzehntelangen interkulturellen Engagements. Natürlich habe sie sich auch mit den Schriften ihres Schwiegervaters Karl Barth auseinandergesetzt, sagt Marie-Claire Barth: "Aber wirklich systematisch zu denken, ist nicht meine Stärke." Sie dagegen sei als Mensch und Theologin "rezeptiv": "Ich kann nur Christ sein im Teilen mit anderen Menschen."

EHRENDOKTORIN

Die Theologische Fakultät der Universität Basel überreichte 2011 die Würde einer Doktorin der Theologie ehrenhalber an Marie-Claire Barth-Frommel von Basel,

  • die sich über Jahrzehnte in der Ausbildung von Theologinnen und Theologen in Indonesien engagiert hat, an verschiedenen Hochschulen dort lehrte, zahlreiche wissenschaftliche Kommentare zu Büchern des Alten Testaments in indonesischer Sprache verfasste und damit die theologische Lehre in diesem Fach auf eine akademisch fundierte Grundlage gestellt hat;

  • die tatkräftig für ein friedliches Zusammenleben zwischen Muslimen und Christen in Indonesien eingetreten ist, den Schutz der christlichen Minderheit gefordert und bedrängten Christen Beistand geleistet hat;

  • die sich im Rahmen ihrer Arbeit bei der Basler Mission mit sanfter Beharrlichkeit für die Rechte von Frauen eingesetzt und zahlreiche Theologinnen in Indonesien und Malaysia gefördert hat, die nun auf verschiedenen Ebenen als "agents of change" in ihren Kirchen und in der Gesellschaft ihrer Länder wirken.

  • Zeit Online Interview mit Marie-Claire Barth-Frommel und ihrem Sohn Daniel Barth, Oktober 2018

    Zum Muttertag ein Statement von Marie-Claire Barth-Frommel

    Marie-Claire Barth-Frommel hält 2017 in Indonesien eine Vorlesung über das Buch Hiob auf indonesisch: